Sejarah Islam Di Tanah PAPUA | Bukti Kejayaan Islam di Timur Indonesia


Tulisan terkirim dikaitan (tagged) ‘Sejarah Islam di Papua’

Bismillahirrahmanirrahiim
lentera-dakwah-yang-berpijar-di-bumi-nuwaar-by-bulan-bintang-media
Selintas jejak dakwah di bumi Nu Waar
Nun di ujung timur Nusantara terbentang sebuah pulau besar berbentuk kepala burung yang dikenal sebagai bumi cendrawasih. Para pedagang muslim dan pendakwah yang singgah untuk pertama kalinya disana pada abad ke-12 menjulukinya sebagai Nur yang berarti Cahaya karena dari ujung timur nusantara itulah Matahari terbit dan memberikan cahayanya (Nur) untuk Indonesia Penduduk asli bumi cendrawasih kemudian terbiasa mengucapkannya dalam dialek mereka yakni Nu Waar.
Dalam sumpah amukti palapa sang Mahapatih Gajahmada menyebut Nu Waar sebagai pulau onim (wilayah kesultanan fak – fak), salah satu negeri kaya potensi yang ingin dipersatukan di bawah panji kekuasaan majapahit.
Hingga abad ke-19 bumi Nu Waar menjadi tempat persinggahan alternatif diantara tiga jalur perdagangan utama di negeri timur yakni sunda kelapa, malaka dan maluku.. Tidak mengherankan jika di Nu Waar berdatangan para pedagang dan pendakwah muslim dari bone- bugis-makassar, ternate-tidore bahkan dari samudera pasai dan malaka. Semenanjung Onim (Fak – fak) menjadi pintu gerbang pertama untuk menjelajahi Nu Waar. Islam mulai masuk ke Bumi Nu Waar tepatnya pada 17 Juli 1214 jauh lebih awal dari para penginjil yang belakangan dan bercita-cita mengkristenkan Nu Waar. Jejak – jejak dakwah islam tidaklah mudah untuk dihapuskan, hingga saat ini masih bisa Islam masih meninggalkan jejak-jejaknya secara nyata di hampir semua daerah di Nu Waar. Beberapa perkampungan Muslim yang ada saat ini sesungguhnya merupakan peninggalan dari perkampungan Muslim di masa lalu. Di Fak-Fak perkampungan Muslim itu bisa ditemukan di Kokas, Patipi, Rumbati, dan Semenanjung Onin dan Atiati. Di Sorong terdapat di Waigeo, Misool, Doom, Salawati, dan di Teminabuan. Di Manokwari ditemukan di Baboo dan Teluk Arguni. Di Jayapura bisa ditemukan di Walesi, Hitigima, dan Kurima. Perkampungan Islam juga bisa ditemukan di daerah Kaimana, Teluk Bintuni, Raja Ampat, Fatagar, Mamote dan lainnya. Di sana bahkan banyak ditemui masjid-masjid dan penduduk asli yang memakai busana Muslim. Di Fak-Fak sendiri malah ada Masjid Tua yang tetap kokoh berdiri, yakni Masjid Patemburak, di Distrik Kokas yang didirikan pada tahun 1870.
Di Manokwari, daerah yang dulu direncanakan sebagai Kota Injil, karena dianggap sebagai tempat masuknya Injil pertama kali di tanah Irian, ternyata Islam juga lebih dulu ada di sana. Muhammad Hasan Rombobiar (Romander), mengatakan bahwa nenek moyangnya dulu yang bernama Mayor Kru Romander, kepala Kampung Munukwar (Manokwari) adalah orang yang pertama menerima Islam. Kru Romander dan istrinya bernama Boki Fatimah masuk Islam setelah bertemu dengan Sultan Tidore, Danong Muhamad Altir dan Danan Muhamad Hasan pada tahun 1811.
Setelah mempelajari Islam, akhirnya mereka masuk Islam pada tahun 1825 M. Tiga puluh tahun kemudian, yakni pada tahun 1855 baru Injil masuk ke Manokwari, tepatnya di Pulau Mansinam. Misionaris yang datang dari Jerman itu bernama CW Attow dan GJ Geisler. ”Yang membawa misionaris ke sana malah Sultan Tidore sendiri,” ujar Hasan. Sejak itulah, lanjutnya, Kristen mulai menyebar di Manokwari dan kemudian menyebar ke daerah lain di Irian.
Sementara di Teluk Bintuni berdasarkan keterangan dari H Umar Barawiri, Kepala Depag Kabupaten Teluk Bintuni, Islam sudah ada beberapa abad yang lalu. Sampai sekarang mereka masih hidup dan tetap pada prinsipnya, mengimani pada Islam. Aturan-aturan yang diajarkan Alquran dan Sunnah juga masih mereka pertahankan. Dakwah di sana juga terus berjalan. ”Sekarang kami berupaya bagaimana ke depan sinar-sinar Islam itu bisa bersinar di seluruh daerah di Bintuni, ” ujarnya. Caranya, dengan membangun lembaga pendidikan seperti pesantren dan madrasah.
Antara Nu Waar – Papua dan Irian
Nama Nu Waar yang identik dan berbau Islam berusaha digeser dan diganti oleh para misionaris serta penjajah yang datang belakangan ke bumi cenderawasih. Penjajah pada akhirnya memang berhasil mengganti dan mempopulerkan Nu Waar dengan nama baru Papua. Nama papua sendiri bukanlah nama yang baik mengingat papua artinya orang yang berkulit hitam yang gemar melakukan kriminal.
Sejak kedatangan penginjil pada tahun 1855, penyebaran Kristen di daerah ini bisa dibilang cukup pesat dibandingkan Islam. Dengan dukungan dana dan fasilitas yang memadai, para misionaris membangun banyak gereja serta membangun dan menggunakan jaringan media untuk menyebarkan opini bahwa Irian itu Kristen. walhasil banyak masyarakat Nu Waar yang dulunya muslim menjadi murtad.
Ketika Nu Waar dibawa kepangkuan Republik Indonesia maka Presiden Soekarno lantas mengubah Papua menjadi Irian, nama Irian memang lebih disukai namun irian sendiri sebenarnya kurang pas karena bermakna kelompok masyarakat yang tak berbusana. Pada saat itu Irian Jaya menjadi Propinsi ke-26 dan Bagian Integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Antara Dakwah dan Budaya
Para misionaris-misionaris kristen mengajarkan mandi dengan cara melumuri badan dengan minyak babi, para misionaris kristen dengan dukungan dari pemerintah berusaha mempertahankan adat dan tradisi jahiliyyah di wilayah tersebut. Upacara-upacara kemusyrikan dan busana yang tidak islami termasuk koteka dipertahankan dengan dalih pelestarian budaya. Fakta inilah yang menjadikan Kristenisasi di bumi Nu Waar berjalan pesat dibandingkan dengan laju dakwah.
geliat-islam-di-nuwaar-belahan-timur-nusantara-by-bulan-bintang-media
Semasa menjabat menteri kemakmuran Dr. Mohammad Natsir mengeluarkan gagasan brilliant sebagai langkah percepatan pembangunan di propinsi – propinsi yang tertinggal sekaligus mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa melalui program transmigrasi. Belakangan ketika Pak Natsir dicekal dari politik dan pemerintahan maka Pak Natsir melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) secara konsisten menerjunkan para dai – dai muda di daerah transmigrasi termasuk ke Bumi Nu Waar.
Para Da’i dari Dewan Dakwah berhasil merangkul beberapa tokoh adat dan membina kader – kader dakwah dari putra daerah. Salah satu Da’i putra asli daerah yang cukup dikenal saat ini adalah Ustadz Fadhlan Garamatan. Ustadz Fadhlan Dia tidak setuju jika penduduk Nu Waar dibiarkan tidak berpendidikan, telanjang, mandi hanya tiga bulan sekali dengan lemak babi, dan tidur bersama babi. Semua penghinaan itu hanya karena alasan budaya dan pariwisata. Itu sama saja dengan pembunuhan hak asasi manusia, menurutnya warga Nu Waar sebenarnya malu dan tidak ingin lagi memakai koteka. Namun demi pelestarian budaya daerah, pemerintah tetap mantap dalam pembodohan struktural terhadap rakyatnya tersebut. Ustadz Fadhlan menggambarkan betapa warga pedalaman Papua begitu senang bisa mandi menggunakan sabun sebelum mereka di syahadat-kan.
Ustadz Fadlan berjuang dan berdakwah ditengah-tengah kaumnya Tempat yang pertama kali dikunjungi adalah lembah Waliem, Wamena. Dengan konsep kebersihan sebagian dari iman, Fadlan mengajarkan mandi besar kepada salah satu kepala suku. Ternyata ajaran itu disambut positif oleh sang kepala suku. Baginya mandi dengan air, lalu pakai sabun, dan dibilas lagi dengan air sangat nyaman dan wangi, jelasnya. Ia Juga mengajarkan kebersihan, dialog dengan apa yang mereka pahami, pergi ke hutan rimba, dan membuka informasi. Dengan dakwah yang sudah dijalankannya selama 19 tahun ini, banyak orang yang masuk Islam di sana. Tercatat 45% warga asli memeluk agama Islam. Jika ditambah dengan para pendatang, maka pemeluk Islam sebanyak 65% dari seluruh manusia yang ada di pulau burung tersebut.
Kini Bumi Nuwaar menanti lahirnya Fadhlan-fadhlan baru yang akan menerangkan lentera di tempat pertama kalinya matahari bersinar memberikan terang cahayanya untuk Indonesia.
(Ditulis Oleh : Badrut Tamam Gaffas untuk Bulan Bintang Media)

melalui : http://syariahfile.wordpress.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Hari KORPRI 2021

Perlukah Pendidikan Seks Untuk Anak ?