Pemerintah Pusat dan Daerah masih Telmi
Antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah
Sebagai praktisi pendidikan dan pengelola lembaga pendidikan baik formal dan non formal, paling tidak 10 (sepuluh) tahun terahir, penulis menganalisa berbagai kebijakan hususnya pada sektor pendidikan baik formal dan non formal.
Pasalnya hingga hari ini Pemerintah Pusat dan daerah masih berkutat pada perdebatan dikotomi tanggung jawab antara pusat dan daerah (prinsip-prinsip seperti ini mengadopsi prinsip sekuler).
Sebagai contoh pemerintah saling melempar tanggung jawab pengelolaan pendidikan agama dan keagamaan di bawah struktur Kementerian Agama (Kemenag) dengan pengelolaan lembaga pendidikan umum (Kemendikbud).
Tahun 2005, audiensi saya dan teman-teman yang tergabung dalam Forum Komunikasi Guru Ngaji Indonesia (FKGNI) Kabupaten Bogor, mengusung berbagai usulan diantaranya perhatian Pemerintah Daerah (Pemda) terhadap keberadaan Pendidikan Agama dan Keagamaan. Mereka ( Bupati/Wakil-wakilnya, Asistenya, Ketua Dewan-nya, Komisi D-nya), saling lempar tanggung jawab, lagi-lagi ini harus ada proses pembahasan melalui anggota dewan (Anggota Legislatif) Daerah. Salah satu usulun yang paling hot dan paling santer saat itu " Terbitnya Perda Diniyah ", untuk anak-anak SD/SMP.
FKGNI Bogor, hingga bersumpah, bila tidak segera mengakomodir serta mewujudkan aspirasi FKGNI, lihat saja 10 tahun ke depan, generasi Bogor Raya akan seperti apa??, Sekarang kita berada di pertengahan 2015, masyarakat luas telah mengetahui kondisi generasi/para remaja hususnya usia sekolah di Bogor sekarang ini seperti apa??
Sangat berbeda sekali dengan prinsip Islam, pada pemerintahan Islam (seorang Kholifah), dia harus menjamin kehidupan warga masyarakatnya dalam berbagai lini kehidupan, jangankan soal pendidikan warganya pasti menjamin penyelenggarakan pendidikan terbaik dan gratis. Salah satu contoh kecil perhatian Khalifah Umar, sangat konsen dan perhatian terhadap insfrastruktur jalan warga, sehigga mengutus pegawainya, agar memeriksa seluruh jalan-jalan yang ada di pelosok kampung negeri ini, khawatir ada yang berlubang, sehingga nanti ada Unta yang terperosot ke dalam lubang tersebut (sebegitunya seorang Kholifah memeprhatikan Jalan).
Sistem Islam juga menjamin Kesehatan gratis hingga berabad-abad, dengan pelayanan Rumah Sakit berstandar Internasional (baca sejarah Sistem Pemerintahan Islam). Berbanding terbalik dengan sekarang Pemerintah melemparkan tanggung jawab kepada pihak suasta, mengurangi tanggung jawab pemerintah yang dianggap sebagai beban negara (Sistem Pemerintahan Neo Leberalisme).
Pada sektor pendidikan, penulis sebagai praktisi pendidikan baik formal dan non formal, sebagai contoh kecil saja, perhatian Pemerintah DKI Jakarta terhadap guru-gurunya sangat-sangatlah berbanding 180 derajat, bagaimana tidak Skat antara tunjangan Pegawai Kemenag dan Kemendikbud sangatlah tidak adil. Contoh Kebijakan Ahok di Tahun 2015 :
1. Seorang Pesuruh/Penjaga Sekolah di DKI:
1.1. Gaji paling tidak standar,................... Rp. 3.000.000,-
1.2. Tunjangan Kinerja/Kesra Statis,........ Rp. 6.200.000,-
1.3. Uang makan dsb sekitar..................... Rp. 800.000,-
Jadi seorang Pesuruh/Penjaga Sekolah DKI Jakarta, gaji per bulannya kurang lebih
Rp. 10.000,000,-
Selain Gaji dan tunjangan di atas juga masih ada tunjangan Kesra Dinamis setiap 3 (tiga) bulan
sekali, dibayarkan sesuai dengan pencapaian Kinerja yang bersangkutan, Katakan saja bila
Pesuruh tersebut mencapai kinerjanya 60 % dalam 3 (tiga) bulan, maka setiap 3 bulan dia juga
mendapatkan tunjangan kurang lebih Rp. 3.700.000,- Artinya ketika pesuruh itu gajian pada 3
(tiga) bulan berikutnya dia menerima gaji dan tunjangan sekitar Rp. 14.000.000,-
Berbanding kebalik dengan Tunjangan Kepala Madrasah dan Kepala TU.
2. Tunjangan Kepala Sekolah Negeri hanya sekitar Rp. 7.000.000,- an
3. Tunjangan Kepala TU bahkan 2x lipat dengan Kepala Sekolah yatu sebesar Rp. 15.000.000,-
Bisa dibayangkan bila Ka TU gajian pada bulan ke 3 berikutnya, yang jelas tidak kurang dari
Rp 25 jt.
Dalam kondisi seperti itu terjadi kesenjangan Kesra antara Guru dan TU, bahkan banyak guru yang
berceloteh, kalau kita males ngajar biarin saja diturunkan menjadi TU, malah kebeneran.
Namun guru-guru di bawah Kemenag yang mengajar di Wilayah DKI, mereka hanya menerima gaji sebagai PNS dan tunjangan sertifikasi bila yang sudah tersertifikasi, dapet tunjangan sertifiasinyapun tidak tentu, 1 (satu) tahun 2 x namun diterima diujung tahun. Dan lebih memprihatinkan lagi para guru-guru Honorer di bawah Kemenag baik dari guru RA, MI, MTs dan MA, mereka hanya mendapatkan Tunjangan Fungsional (TF) sebesar Rp. 250.000,- / bulan yang diterima 1 (satu) tahun sekali. Yang mendapatkan tunjangan TF ini pun harus memenuhi persyaratan, harus memiliki Nomor Unik Pendidik dan Kependidikan (NUPTK) dan harus mengajar sekian tahun. Artinya tidak semua guru honorer di Indonesia mendapat tunjangan TF tersebut. Padahal Guru dan tenaga Kependidikan suasta hususya pada Kemenag ada 3 (tiga) permasalahan :
1. Guru/Pegawai berstatus PNS, mereka sudah pasti memiliki NUPTK dan NRG.
2. Guru/Pegawai yang hanya memliki NUPTK.
3. Guru dan Tenaga Kependidikan yang belum memiliki NUPTK apalagi NRG.
Inilah ketidak-adilan Pemerintah dalam pengelolaan pendidikan, sudah semestinya Pemerintah harus adil dalam pengelolaan lembaga Pendidikan. Masyarakat luas harus mengetahui data pada Kementerian Agama RI pada Direktorat pendidikan Madrasah, bahwa lembaga Pendidikan agama dari RA, MI, MTs dan MA/MAK, jumlahnya mencapai 90 %, sedangkan lembaga yang didirikan Pemerintah (Sekolah Negeri) : MIN, MTsN, MAN, jumlahnya hanya 10 %.
Begitu juga lembaga pendidikan SD, SMP, SMU/SMK. Dengan jumlah lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat 90 %, jumlah gurunyapun berbanding dengan jumlah lembaganya, jadi jumlah guru yang berada pada lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat sekitar 90 %.
Artinya kekuatan pendidikan Bangsa Indonesia berada pada lembaga Pendidikan suasta?, namun kenapa hingga hari ini Pemerintah Pusat dan Daerah masih belum memahami atau mohon maaf bila penulis katakan " Pemerintah Telat Mikir ". Bagaimana tidak " telmi " ?!, lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat tidak diberi bantuan wajib setiap tahunnya untuk membenahi Sarana dan Prasarananya, seperti pada sekolah-sekolah Negeri, begitu juga perhatian terhadap guru-gurunya hususnya yang honorer.
Hingga hari ini, para pengambil kebijakan Eksekutif dan Legislatif baik Pusat dan Daerah, masih " Telat Mikir " alias " Telmi ".
Bogor, 24 Mei 2015 M
06 Sya'ban 1436 H.
Ketua Umum Yayasan Guru Ngaji Indonesia.
Sebagai praktisi pendidikan dan pengelola lembaga pendidikan baik formal dan non formal, paling tidak 10 (sepuluh) tahun terahir, penulis menganalisa berbagai kebijakan hususnya pada sektor pendidikan baik formal dan non formal.
Pasalnya hingga hari ini Pemerintah Pusat dan daerah masih berkutat pada perdebatan dikotomi tanggung jawab antara pusat dan daerah (prinsip-prinsip seperti ini mengadopsi prinsip sekuler).
Sebagai contoh pemerintah saling melempar tanggung jawab pengelolaan pendidikan agama dan keagamaan di bawah struktur Kementerian Agama (Kemenag) dengan pengelolaan lembaga pendidikan umum (Kemendikbud).
Tahun 2005, audiensi saya dan teman-teman yang tergabung dalam Forum Komunikasi Guru Ngaji Indonesia (FKGNI) Kabupaten Bogor, mengusung berbagai usulan diantaranya perhatian Pemerintah Daerah (Pemda) terhadap keberadaan Pendidikan Agama dan Keagamaan. Mereka ( Bupati/Wakil-wakilnya, Asistenya, Ketua Dewan-nya, Komisi D-nya), saling lempar tanggung jawab, lagi-lagi ini harus ada proses pembahasan melalui anggota dewan (Anggota Legislatif) Daerah. Salah satu usulun yang paling hot dan paling santer saat itu " Terbitnya Perda Diniyah ", untuk anak-anak SD/SMP.
FKGNI Bogor, hingga bersumpah, bila tidak segera mengakomodir serta mewujudkan aspirasi FKGNI, lihat saja 10 tahun ke depan, generasi Bogor Raya akan seperti apa??, Sekarang kita berada di pertengahan 2015, masyarakat luas telah mengetahui kondisi generasi/para remaja hususnya usia sekolah di Bogor sekarang ini seperti apa??
Sangat berbeda sekali dengan prinsip Islam, pada pemerintahan Islam (seorang Kholifah), dia harus menjamin kehidupan warga masyarakatnya dalam berbagai lini kehidupan, jangankan soal pendidikan warganya pasti menjamin penyelenggarakan pendidikan terbaik dan gratis. Salah satu contoh kecil perhatian Khalifah Umar, sangat konsen dan perhatian terhadap insfrastruktur jalan warga, sehigga mengutus pegawainya, agar memeriksa seluruh jalan-jalan yang ada di pelosok kampung negeri ini, khawatir ada yang berlubang, sehingga nanti ada Unta yang terperosot ke dalam lubang tersebut (sebegitunya seorang Kholifah memeprhatikan Jalan).
Sistem Islam juga menjamin Kesehatan gratis hingga berabad-abad, dengan pelayanan Rumah Sakit berstandar Internasional (baca sejarah Sistem Pemerintahan Islam). Berbanding terbalik dengan sekarang Pemerintah melemparkan tanggung jawab kepada pihak suasta, mengurangi tanggung jawab pemerintah yang dianggap sebagai beban negara (Sistem Pemerintahan Neo Leberalisme).
Pada sektor pendidikan, penulis sebagai praktisi pendidikan baik formal dan non formal, sebagai contoh kecil saja, perhatian Pemerintah DKI Jakarta terhadap guru-gurunya sangat-sangatlah berbanding 180 derajat, bagaimana tidak Skat antara tunjangan Pegawai Kemenag dan Kemendikbud sangatlah tidak adil. Contoh Kebijakan Ahok di Tahun 2015 :
1. Seorang Pesuruh/Penjaga Sekolah di DKI:
1.1. Gaji paling tidak standar,................... Rp. 3.000.000,-
1.2. Tunjangan Kinerja/Kesra Statis,........ Rp. 6.200.000,-
1.3. Uang makan dsb sekitar..................... Rp. 800.000,-
Jadi seorang Pesuruh/Penjaga Sekolah DKI Jakarta, gaji per bulannya kurang lebih
Rp. 10.000,000,-
Selain Gaji dan tunjangan di atas juga masih ada tunjangan Kesra Dinamis setiap 3 (tiga) bulan
sekali, dibayarkan sesuai dengan pencapaian Kinerja yang bersangkutan, Katakan saja bila
Pesuruh tersebut mencapai kinerjanya 60 % dalam 3 (tiga) bulan, maka setiap 3 bulan dia juga
mendapatkan tunjangan kurang lebih Rp. 3.700.000,- Artinya ketika pesuruh itu gajian pada 3
(tiga) bulan berikutnya dia menerima gaji dan tunjangan sekitar Rp. 14.000.000,-
Berbanding kebalik dengan Tunjangan Kepala Madrasah dan Kepala TU.
2. Tunjangan Kepala Sekolah Negeri hanya sekitar Rp. 7.000.000,- an
3. Tunjangan Kepala TU bahkan 2x lipat dengan Kepala Sekolah yatu sebesar Rp. 15.000.000,-
Bisa dibayangkan bila Ka TU gajian pada bulan ke 3 berikutnya, yang jelas tidak kurang dari
Rp 25 jt.
Dalam kondisi seperti itu terjadi kesenjangan Kesra antara Guru dan TU, bahkan banyak guru yang
berceloteh, kalau kita males ngajar biarin saja diturunkan menjadi TU, malah kebeneran.
Namun guru-guru di bawah Kemenag yang mengajar di Wilayah DKI, mereka hanya menerima gaji sebagai PNS dan tunjangan sertifikasi bila yang sudah tersertifikasi, dapet tunjangan sertifiasinyapun tidak tentu, 1 (satu) tahun 2 x namun diterima diujung tahun. Dan lebih memprihatinkan lagi para guru-guru Honorer di bawah Kemenag baik dari guru RA, MI, MTs dan MA, mereka hanya mendapatkan Tunjangan Fungsional (TF) sebesar Rp. 250.000,- / bulan yang diterima 1 (satu) tahun sekali. Yang mendapatkan tunjangan TF ini pun harus memenuhi persyaratan, harus memiliki Nomor Unik Pendidik dan Kependidikan (NUPTK) dan harus mengajar sekian tahun. Artinya tidak semua guru honorer di Indonesia mendapat tunjangan TF tersebut. Padahal Guru dan tenaga Kependidikan suasta hususya pada Kemenag ada 3 (tiga) permasalahan :
1. Guru/Pegawai berstatus PNS, mereka sudah pasti memiliki NUPTK dan NRG.
2. Guru/Pegawai yang hanya memliki NUPTK.
3. Guru dan Tenaga Kependidikan yang belum memiliki NUPTK apalagi NRG.
Inilah ketidak-adilan Pemerintah dalam pengelolaan pendidikan, sudah semestinya Pemerintah harus adil dalam pengelolaan lembaga Pendidikan. Masyarakat luas harus mengetahui data pada Kementerian Agama RI pada Direktorat pendidikan Madrasah, bahwa lembaga Pendidikan agama dari RA, MI, MTs dan MA/MAK, jumlahnya mencapai 90 %, sedangkan lembaga yang didirikan Pemerintah (Sekolah Negeri) : MIN, MTsN, MAN, jumlahnya hanya 10 %.
Begitu juga lembaga pendidikan SD, SMP, SMU/SMK. Dengan jumlah lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat 90 %, jumlah gurunyapun berbanding dengan jumlah lembaganya, jadi jumlah guru yang berada pada lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat sekitar 90 %.
Artinya kekuatan pendidikan Bangsa Indonesia berada pada lembaga Pendidikan suasta?, namun kenapa hingga hari ini Pemerintah Pusat dan Daerah masih belum memahami atau mohon maaf bila penulis katakan " Pemerintah Telat Mikir ". Bagaimana tidak " telmi " ?!, lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat tidak diberi bantuan wajib setiap tahunnya untuk membenahi Sarana dan Prasarananya, seperti pada sekolah-sekolah Negeri, begitu juga perhatian terhadap guru-gurunya hususnya yang honorer.
Hingga hari ini, para pengambil kebijakan Eksekutif dan Legislatif baik Pusat dan Daerah, masih " Telat Mikir " alias " Telmi ".
Bogor, 24 Mei 2015 M
06 Sya'ban 1436 H.
Ketua Umum Yayasan Guru Ngaji Indonesia.
Komentar
Posting Komentar