Perlukah Pendidikan Seks Untuk Anak ?
Perlukah Pendidikan Seks Untuk Anak ?
inilah jawaban secara pendidikan umum walau masih banyak pertentangannya, jawaban secara alqurab hadits ada tersendiri tentunya
Seks itu artinya jenis kelamin, yang membedakan laki-laki dan
perempuan secara biologis. Sementara, seksualitas menyangkut beberapa hal
antara lain :
·
Dimensi biologis – yaitu berkaitan dengan organ
reproduksi, cara merawat kebersihan dan kesehatan.
·
Dimensi psikologis – seksualitas berkaitan dengan
identitas peran jenis, perasaan terhadap seksualitas dan bagaimana menjalankan
fungsinya sebagai makhluk seksual.
·
Dimensi sosial – berkaitan dengan bagaimana
seksualitas muncul dalam relasi antar-manusia serta bagaimana lingkungan
berpengaruh dalam pembentukan pandangan mengenai seksualitas dan pilihan perilaku
seks.
·
Dimensi kultural – menunjukkan bahwa perilaku seks
itu merupakan bagian dari budaya yang ada di masyarakat.
Tujuan Pendidikan seks di sekolah menurut Federasi
Keluarga Internasional yaitu :
·
Memahami seksualitas sebagai bagian dari kehidupan
yang esensi dan normal.
·
Mengerti perkembangan fisik dan perkembangan
emosional manusia.
·
Memahami dan menerima individualitas pola
perkembangan pribadi.
·
Memahami kenyataan seksualitas manusia dan
reproduksi manusia.
·
Mengkomunikasikan secara efektif tentang pertanyaan-pertanyaan
yang berkenaan dengan seksualitas dan perilaku sosial.
·
Mengetahui konsekuensi secara pribadi dan sosial
dari sikap seksual yang tidak bertanggung jawab.
·
Mengembangkan sikap tanggung jawab dalam hubungan
interpersonal dan perilaku sosial.
·
Mengenal dan mampu mengambil langkah efektif
terhadap penyimpangan perilaku seksual.
·
Merencanakan kemandirian di masa depan, sebuah
tempat dalam masyarakat, pernikahan dan kehidupan keluarga.
Dr. Boyke Dian
Nugraha juga menjelaskan, pendidikan tentang seks sebenarnya perlu diberikan
orang tua pada anak sejak usia dini agar anak bisa lebih memahami keunikan
dirinya. Dengan demikian, anak akan lebih percaya diri, mampu menerima keunikan
dirinya sekaligus tahu bagaimana menjaga dirinya sendiri. Ajarkan pada
anak untuk bisa mengatakan “TIDAK” pada orang dewasa yang belum dikenal/
asing. Ini menjadi salah satu pencegahan yang efektif agar tidak terjadi
pelecehan seks dan hal-hal lain yang tidak diinginkan.
Secara garis besar,
dr. Boyke membagi pendidikan seks bagi anak berdasarkan usia ke dalam empat
tahap yakni usia 1 – 4 tahun, usia 5-7 tahun, 8-10 tahun dan usia 10-12 tahun.
·
Usia 1 sampai 4 tahun
Orangtua disarankan mulai memperkenalkan anatomi tubuh,
termasuk alat genital. Perlu juga ditekankan pada anak bahwa setiap orang
adalah ciptaan Tuhan yang unik, dan berbeda satu sama lain. ”Kenalkan, ini
mata, ini kaki, ini vagina. Itu tidak apa-apa. Terangkan bahwa anak laki-laki
dan perempuan diciptakan Tuhan berbeda, masing-masing dengan keunikannya
sendiri.
·
Usia 5 – 7 tahun
Menurut dr. Boyke, rasa ingin tahu anak tentang aspek
seksual biasanya meningkat. Mereka akan menanyakan kenapa temannya memiliki
organ-organ yang berbeda dengan dirinya sendiri. Rasa ingin tahu itu merupakan
hal yang wajar. Karena itu, orang tua diharapkan bersikap sabar dan
komunikatif, menjelaskan hal-hal yang ingin diketahui anak. ”Kalau anak
laki-laki mengintip temannya perempuan yang sedang buang air, itu mungkin
karena ia ingin tahu. Jangan hanya ditegur lalu ditinggalkan tanpa penjelasan.
Terangkan, bedanya anak laki-laki dan perempuan. Orangtua harus dengan sabar
memberikan penjelasan pada anak,” ujar Boyke.
·
Usia 8 – 10 tahun
Anak sudah mampu membedakan dan mengenali hubungan sebab
akibat. Pada fase ini, orangtua sudah bisa menerangkan secara sederhana proses
reproduksi, misalnya tentang sel telur dan sperma yang jika bertemu akan
membentuk bayi.
·
Usia 11-13 tahun
Anak sudah mulai memasuki pubertas. Ia mulai mengalami
perubahan fisik, dan mulai tertarik pada lawan jenisnya. Ia juga sedang giat
mengeksplorasi diri. Anak perempuan, misalnya, akan mulai mencoba-coba alat
make up ibunya. Pada tahap inilah peran orangtua amat sangat penting. Orangtua
harus menerima perubahan diri anaknya sebagai bagian yang wajar dari
pertumbuhan seorang anak-anak menuju tahap dewasa, dan tidak memandangnya
sebagai ketidakpantasan atau hal yang perlu disangkal.
Di sisi lain orangtua harus berusaha melakukan pengawasan lebih ketat, dengan cara menjaga komunikasi dengan anak tetap berjalan lancar. Kalau anak merasa yakin dan percaya ia bisa menceritakan apa saja kepada orang tuanya, orang tua akan bisa mengawasi si anak dengan lebih baik.
Di sisi lain orangtua harus berusaha melakukan pengawasan lebih ketat, dengan cara menjaga komunikasi dengan anak tetap berjalan lancar. Kalau anak merasa yakin dan percaya ia bisa menceritakan apa saja kepada orang tuanya, orang tua akan bisa mengawasi si anak dengan lebih baik.
Sebaiknya anak perempuan memiliki hubungan lebih dekat
dengan ibu, dan sebaliknya. Hal itu mempermudah anak membentuk identitas
dirinya sendiri sebagai individu dewasa.
”Kalau anak perempuan jauh lebih dekat dengan ayahnya, dan kurang akrab dengan ibunya, ia bisa saja mencari sosok ayah jika ia mencari pasangan hidup kelak, tidak suka teman seusianya.
”Kalau anak perempuan jauh lebih dekat dengan ayahnya, dan kurang akrab dengan ibunya, ia bisa saja mencari sosok ayah jika ia mencari pasangan hidup kelak, tidak suka teman seusianya.
Hasil penelitian tersebut antara
lain: Sarwono (1970) meneliti 117 remaja di Jakarta dan menemukan bahwa 4,1%
pernah melakukan hubungan seks. Beberapa tahun kemudian, Eko (1983) meneliti
461 remaja, dan dari penelitian ini diperoleh data bahwa 8,2% di antaranya
pernah melakukan hubungan seks dan 10% di antaranya menganggap bahwa hubungan
seks pranikah adalah wajar.
Di Semarang, Satoto (1992)
mengadakan penelitian terhadap 1086 responden pelajar SMP-SMU dan menemukan
data bahwa 4,1% remaja putra dan 5,1% remaja putri pernah melakukan hubungan
seks. Pada tahun yang sama Tjitarra mensurvei 205 remaja yang hamil tanpa
dikehendaki. Survei yang dilakukan Tjitarra juga memaparkan bahwa mayoritas
dari mereka berpendidikan SMA ke atas, 23% di antaranya berusia 15 – 20 tahun,
dan 77% berusia 20 – 25 tahun.
Metode yang bisa dipakai
1. MENGENALKAN
PERBEDAANLAWAN JENIS
Jelaskan bahwa Tuhan menciptakan
laki-laki dan perempuan yang memiliki perbedaan jenis kelamin. Hal ini yang
menyebabkan beberapa hal menjadi berbeda, seperti cara berpakaian, gaya rambut,
cara buang air kecil. Terangkan bahwa anak laki-laki jika sudah besar akan jadi
ayah dan anak perempuan akan menjadi ibu. Tugas utama ayah adalah mencari
nafkah, walaupun harus tetap memperhatikan keluarga. Adapun tugas utama ibu
adalah mengatur rumah tangga dan keluarga. Namun, tidak menutup kemungkinan
seorang ibu membantu ayah dalam mencukupi kebutuhan. Dengan demikian, anak bisa
memahami peran jenis kelamin dengan baik dan benar.
2. MEMPERKENALKAN
ORGAN SEKS
Caranya cukup mudah, misalnya
dengan menggunakan boneka ataupun ketika mandi. Perkenalkan anak secara singkat
organ tubuh yang dimiliki, seperti rambut, kepala, tangan, kaki, perut, serta
jangan lupa penis dan vagina. Terangkan juga fungsi dari anggota tubuh dan
cara pemeliharaannya agar terhindar dari kuman penyakit.
3. MENGHINDARI ANAK
DARI KEMUNGKINAN PELECEHAN SEKSUAL
Tegaskan pada anak bahwa alat
kelamin tidak boleh dipertontonkan secara sembarangan. Tumbuhkan rasa malu pada
anak, misalnya ketiika keluar dari kamar mandi hendaknya mengenakan pakaian
atau handuk penutup. Selain itu, jika ada yang menyentuhnya, segera laporkan
pada orang tua atau guru di sekolah. Anak boleh teriak sekeras-kerasnya dalam
hal ini untuk melindungi dirinya.
4. INFORMASIKAN
TENTANG ASAL-USUL ANAK
Untuk anak usia prasekolah, bisa
diterangkan bahwa anak berasal dari perut ibu, misalnya sambil menunjuk perut
ibu atau pada ibu yang sedang hamil. Sejalan dengan usia, anak boleh diterangkan
bahwa seorang anak berasal dari sel telur ibu yang dibuahi oleh sperma yang
berasal dari ayah. Tekankan bahwa pembuahan boleh atau bisa dilakukan setelah
wanita dan pria menikah.
5.PERSIAPAN MENGHADAPI MASA
PUBERTAS
Informasikan bahwa seiring
bertambahnya usia, anak akan mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan
yang jelas terlihat adalah ketika memasuki masa pubertas. Anak perempuan akan
mengalami menstruasi/haid, sedangkan anak laki-laki mengalami mimpi basah. Hal
ini menandai juga perubahan pada bentuk tubuh dan kualitas, misalnya bagian
dada yang membesar pada wanita dan suara yang memberat pada seorang pria.
Penjelasan yang diberikan tentu
menggunakan istilah tepat namun tetap dapat dipahami anak.
Materi pendidikan seks yang
diberikan di sekolah sesuai dengan jenjang pendidikan adalah sebagai berikut :
Sekolah Dasar
(SD) –> Terutama Kelas 5-6 SD (memasuki usia remaja)
·
Keterbukaan pada orang tua.
·
Pengarahan akan persepsi mereka tentang seks bahwa
hal tersebut mengacu pada ‘jenis kelamin’ dan bukan lagi tentang hal-hal di
luar itu (hubungan laki-laki dan perempuan; proses membuat anak; dsb.).
·
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
·
Pengenalan bagian tubuh, organ, dan fungsinya.
·
Memakai bahasa yang baik dan benar tentang seks à
menggunakan bahasa ilmiah, seperti ‘Penis’, ‘Vagina’.
·
Pengenalan sistem organ seks secara sederhana.
·
Anatomi sistem reproduksi secara sederhana.
·
Cara merawat kesehatan dan kebersihan organ tubuh,
termasuk organ seks/organ reproduksi.
·
Mengajarkan anak untuk menghargai dan melindungi
tubuhnya sendiri.
·
Proses kehamilan dan persalinan sederhana.
·
Mempersiapkan anak untuk memasuki masa pubertas.
·
Perkembangan fisik dan psikologis yang terjadi pada
remaja.
·
Ciri seksualitas primer dan sekunder.
·
Proses terjadinya mimpi basah.
·
Proses terjadinya ovulasi dan menstruasi secara
sederhana.
·
Memberikan pemahaman bagi para siswa mengenai
pendidikan seksual agar siswa dapat memiliki sikap positif dan perilaku yang
bertanggung jawab terhadap kesehatan reproduksinya secara umum.
sumber http://yayasangurungajiindonesia-ygni.blogspot.com/2014/03/perlukah-pendidikan-seks-untuk-anak.html
sumber http://yayasangurungajiindonesia-ygni.blogspot.com/2014/03/perlukah-pendidikan-seks-untuk-anak.html
Komentar
Posting Komentar